TAKALAR,JURNALINDEPENEDENT.Com,—-Menjelang Kontestasi Pemilu tahun 2023, kuota 30% keterwakilan perempuan menjadi isu penting yang perlu diulas lebih mendalam. Sebab Perempuan adalah setengah masyarakat, subjek pembangunan yang hampir semua ruang dikehidupan ini membutuhkan kehadiran perempuan.
Dalam 10 tahun terakhir, keterwakilan perempuan berada dibawah 30 persen yg bisa dikata mengingkari amanat Undang-undang. Berdasar pada rilis puskapol UI, pada tahun 2012-2017 keterlibatan perempuan dibawaslu-kpu hanya mencapai 20%. Ini nampak jelas dari jajaran struktural komisioner Bawaslu-KPU ditingkat nasional dari 5-7 jumlahnya, hanya 1 orang perempuan mewakili.
Amat sangat timpang, tapi itulah realitanya. Tidak mengherankan jika komisioner KPU-Bawaslu ditingkat provinsi/kabupaten seperti itu pula bahkan meniadakan keterwakilan perempuan. Melansir dari rakyat news (20/maret/2023), ketua Bawaslu Kab Je’neponto menggugat hasil seleksi perekrutan anggota bawaslu provinsi, yang mana salahsatu perihalnya adalah timsel meloloskan nama-nama calon anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan tidak memperhatikan keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana diatur Surat Keputusan Ketua Bawaslu Nomor : 48/KP.01/K1/01/2023.
Berangkat dari peristiwa-peristiwa tersebut, sudah seharusnya kita memaknai Keterwakilan perempuan bukan hanya simbolik tapi lebih aktual & perlu mendapat atensi dari kita semua. Kita perlu menelisik lebih jauh, mengapa ketimpangan keterwakilan antara laki-laki dan perempuan masih terjadi? Nyatanya itu terjadi karena dari sisi jumlah, pendaftar perempuan memang jauh lebih sedikit daripada laki-laki.
Sementara dari proses tahapan seleksi, ada persoalan serius yakni ditemui belum meratanya perspektif keadilan gender di dalam tim seleksi maupun DPR-RI. Dorongan regulasi teknis yang belum kuat diduga pemicu penghambat ditegakkannya keadilan gender. Padahal,
UU NRI 1945 pasal 28 H ayat (2) menegaskan
“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Artinya pasal ini adalah jaminan kebijakan afirmasi untuk keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu. Pasal tersebut kemudian diturunkan menjadi pasal 10 ayat (7) dan pasal 92 ayat (11) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang pada intinya memperingatkan bahwa komposisi keanggotaan kpu dan bawaslu perlu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Sekiranya kita ketahui bersama bahwa populasi perempuan setengah dari masyarakat indonesia bahkan bisa dibilang lebih banyak. Data pemilih 2019 misalnya, pemilih perempuan yg menggunakan hak pilih itu hampir 4% lebih banyak daripada pemilih laki-laki.
Selain itu, pertimbangan lain ialah pengalaman khas dan perspektif perempuan perlu dihadirkan yang kemudian bisa membawa penyelenggaraan pemilu dengan paradigma inklusif gender. Dalam konteks ini,ketika kita berbicara keterwakilan perempuan, kita harusnya tidak hanya berbicara tentang kuantitas.
Tetapi bagaimana keterwakilan perempuan mampu menjadi solusi & berkontribusi bagi tata kelola pemerintahan yg masih patriarkal menjadi lebih inklusif, kredibel, dan profesional. Kita juga harus percaya bersama bahwa, ada banyak figur perempuan yg memiliki wawasan tentang kepemiluan & catatan-catatan integritas yg tidak diragukan lagi.
Selama ini kita masih memaknai amanat Undang-undang itu bias, misal dari redaksi frasa yg digunakan “memperhatikan”.
“Masih memperhatikan bukan berarti boleh ada boleh tidak. Kalau kurang pun tidak ada masalah”. Jangan sampai ini menjadi kedok perlindungan untuk tidak mengharuskan ada keterwakilan perempuan.
Seyogianya, hal tersebut benar-benar dibutuhkan. Konsepsi seperti ini yg mestinya diubah sebab dalam berelasi sosial, ketika kita memperhatikan sesuatu berarti kita siap memberi atensi & komitmen yang lebih terhadap sesuatu itu. Artinya kita perlu memprioritaskan, sebab 30% itu sudah menjadi keniscayaan yang mesti dipenuhi, lebih pun boleh namun jika itu
[5/4 13.20] Tiro Raksul: Sudah selayaknya, semua stakeholder dari institusi mewujudkan keterwakilan perempuan dengan bersama-sama satu pahaman bahwa frasa memperhatikan itu berarti wajib hukumnya mengutamakan keterwakilan perempuan, mengisi komposisi penyelenggara pemilu.
Dengan demikian, jika ada 7 anggota kpu ataupun bawaslu mestinya paling sedikit ada 2/3 perempuan didalamnya.
Untuk mewujudkan ini, kita semua perlu mendorong ketegasan timsel dalam pelaksanaan tahapan rekrutmen penyelenggara pemilu , baik kpu maupun bawaslu.
Akhir dari tulisan saya ini, Saya sedikit ingin membangun sebuah asumsi sederhana bahwa seharusnya dalam berbagai kebijakan itu diramu dan dibangun dari jiwa Maskulinitas laki-laki dan keteduhan jiwa feminisme perempuan, agar kelak kebijakan itu bisa sesuai namanya yakni bijaksana dalam artian terbangun dari kesetaraan dan tanpa membeda-bedakan yang lain.
Selain butir aturan yang menegaskan keterlibatan perempuan, Islam dalam perjalanannya telah menyampaikan isyarat tentang kesamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan(Baca; Surah Al Hujurat/13).
Dalam berbagai ruang pekerjaan seharusnya setiap orang memilki ruang wicara yang sama sebab, ruang publik adalah ruang bersama yang setiap orang memiliki jarak akses yang sama. Jadi tidak seharusnya berbagai kelompok tertentu disudutkan serta didiskreditkan dengan berbagai asumsi liar yang tidak bertanggung jawab.
Tentu harapan penulis, demi tegaknya amanat UU. Sekarang ini, tengah berlangsun rekrutmen Anggota KPU di seluruh Kabupaten Provinsi Sulawesi Selatan terkhusus di Kabupaten Takalar , semoga tidak lagi meniadakan keterwakilan perempuan apalagi tersinyalir jelas bahwa informasi pendaftar perempuan cukup meludak yang juga diketahui mereka semua adalah putri terbaik yang dimiliki butta panrannuangta.
Dengan terakreditasnya Korps HMI-Wati Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Kohati PB HMI) sebagai Pemantau Pemilu Oleh Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia dengan nomor sertifikat (12/PM.05/K1/8/2022), kami Korps Hmi-Wati Cabang Takalar merekomendasikan & mengatensi setinggi-tingginya agar timsel lebih tegas menegakkan amanat UU berkenaan dengan keterwakilan 30% perempuan dalam tahapan perekrutan anggota KPU-Bawaslu kedepannya.
Penulis : Susi Susanti (Ketua Korps HmI-Wati Cabang Takalar)Ingkari Amanat UU : Kuota Keterwakilan Perempuan 30% Diabaikan
Amat sangat timpang, tapi itulah realitanya. Tidak mengherankan jika komisioner KPU-Bawaslu ditingkat provinsi/kabupaten seperti itu pula bahkan meniadakan keterwakilan perempuan. Melansir dari rakyat news (20/maret/2023),
ketua Bawaslu Kab Je’neponto menggugat hasil seleksi perekrutan anggota bawaslu provinsi, yang mana salahsatu perihalnya adalah timsel meloloskan nama-nama calon anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan tidak memperhatikan keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana diatur Surat Keputusan Ketua Bawaslu Nomor :48/KP.01/K1/01/2023. Berangkat dari peristiwa-peristiwa tersebut, sudah seharusnya kita memaknai Keterwakilan perempuan bukan hanya simbolik tapi lebih aktual & perlu mendapat atensi dari kita semua. Kita perlu menelisik lebih jauh, mengapa ketimpangan keterwakilan antara laki-laki dan perempuan masih terjadi? Nyatanya itu terjadi karena dari sisi jumlah, pendaftar perempuan memang jauh lebih sedikit daripada laki-laki.
Sementara dari proses tahapan seleksi, ada persoalan serius yakni ditemui belum meratanya perspektif keadilan gender di dalam tim seleksi maupun DPR-RI. Dorongan regulasi teknis yang belum kuat diduga pemicu penghambat ditegakkannya keadilan gender. Padahal, UU NRI 1945 pasal 28 H ayat (2) menegaskan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Artinya pasal ini adalah jaminan kebijakan afirmasi untuk keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu. Pasal tersebut kemudian diturunkan menjadi pasal 10 ayat (7) dan pasal 92 ayat (11) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang pada intinya memperingatkan bahwa komposisi keanggotaan kpu dan bawaslu perlu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Sekiranya kita ketahui bersama bahwa populasi perempuan setengah dari masyarakat indonesia bahkan bisa dibilang lebih banyak. Data pemilih 2019 misalnya, pemilih perempuan yg menggunakan hak pilih itu hampir 4% lebih banyak daripada pemilih laki-laki. Selain itu, pertimbangan lain ialah pengalaman khas dan perspektif perempuan perlu dihadirkan yang kemudian bisa membawa penyelenggaraan pemilu dengan paradigma inklusif gender. Dalam konteks ini,ketika kita berbicara keterwakilan perempuan, kita harusnya tidak hanya berbicara tentang kuantitas.
Tetapi bagaimana keterwakilan perempuan mampu menjadi solusi & berkontribusi bagi tata kelola pemerintahan yg masih patriarkal menjadi lebih inklusif, kredibel, dan profesional. Kita juga harus percaya bersama bahwa, ada banyak figur perempuan yg memiliki wawasan tentang kepemiluan & catatan-catatan integritas yg tidak diragukan lagi.
Selama ini kita masih memaknai amanat Undang-undang itu bias, misal dari redaksi frasa yg digunakan “memperhatikan”. “Masih memperhatikan bukan berarti boleh ada boleh tidak. Kalau kurang pun tidak ada masalah”. Jangan sampai ini menjadi kedok perlindungan untuk tidak mengharuskan ada keterwakilan perempuan. Seyogianya, hal tersebut benar-benar dibutuhkan.
Konsepsi seperti ini yg mestinya diubah sebab dalam berelasi sosial, ketika kita memperhatikan sesuatu berarti kita siap memberi atensi & komitmen yang lebih terhadap sesuatu itu. Artinya kita perlu memprioritaskan, sebab 30% itu sudah menjadi keniscayaan yang mesti dipenuhi, lebih pun boleh namun jika itu
Sudah selayaknya, semua stakeholder dari institusi mewujudkan keterwakilan perempuan dengan bersama-sama satu pahaman bahwa frasa memperhatikan itu berarti wajib hukumnya mengutamakan keterwakilan perempuan, mengisi komposisi penyelenggara pemilu.
Dengan demikian, jika ada 7 anggota kpu ataupun bawaslu mestinya paling sedikit ada 2/3 perempuan didalamnya. Untuk mewujudkan ini, kita semua perlu mendorong ketegasan timsel dalam pelaksanaan tahapan rekrutmen penyelenggara pemilu , baik kpu maupun bawaslu. Akhir dari tulisan saya ini, Saya sedikit ingin membangun sebuah asumsi sederhana bahwa seharusnya dalam berbagai kebijakan itu diramu dan dibangun dari jiwa Maskulinitas laki-laki dan keteduhan jiwa feminisme perempuan, agar kelak kebijakan itu bisa sesuai namanya yakni bijaksana dalam artian terbangun dari kesetaraan dan tanpa membeda-bedakan yang lain.
Selain butir aturan yang menegaskan keterlibatan perempuan, Islam dalam perjalanannya telah menyampaikan isyarat tentang kesamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan(Baca; Surah Al Hujurat/13). Dalam berbagai ruang pekerjaan seharusnya setiap orang memilki ruang wicara yang sama sebab, ruang publik adalah ruang bersama yang setiap orang memiliki jarak akses yang sama. Jadi tidak seharusnya berbagai kelompok tertentu disudutkan serta didiskreditkan dengan berbagai asumsi liar yang tidak bertanggung jawab.
Tentu harapan penulis, demi tegaknya amanat UU. Sekarang ini, tengah berlangsun rekrutmen Anggota KPU di seluruh Kabupaten Provinsi Sulawesi Selatan terkhusus di Kabupaten Takalar , semoga tidak lagi meniadakan keterwakilan perempuan apalagi tersinyalir jelas bahwa informasi pendaftar perempuan cukup meludak yang juga diketahui mereka semua adalah putri terbaik yang dimiliki butta panrannuangta.
Dengan terakreditasnya Korps HMI-Wati Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Kohati PB HMI) sebagai Pemantau Pemilu Oleh Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia dengan nomor sertifikat (12/PM.05/K1/8/2022),
kami Korps Hmi-Wati Cabang Takalar merekomendasikan & mengatensi setinggi-tingginya agar timsel lebih tegas menegakkan amanat UU berkenaan dengan keterwakilan 30% perempuan dalam tahapan perekrutan anggota KPU-Bawaslu kedepannya.
Penulis : Susi Susanti (Ketua Korps HmI-Wati Cabang Takalar)